Kamis, 05 Maret 2009

Legenda Ikan Patin

Legenda Ikan Patin
Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara
Rating : Rating 2.9 2.9 (10 pemilih)

Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu berbahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari-harinya diha­biskan untuk bekerja mencari ikan dan mencari kayu di hutan.

Suatu hari, Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia menunggui kailnya. Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang Gading. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.

Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah ...! Biar putus jangan rabut,” terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.

Perlahan hari beranjak petang, na­mun tak seekor ikan pun diperolehnya. “Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini,” keluh Awang Gading. Ia bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi. Dengan penasaran, Awang Gading mencari asal suara tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perem­puan tergolek di atas batu. Rupanya dia baru saja dilahirkan oleh ibunya.

“Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” gumam Awang Gading kemudian membawa pu­lang bayi perempuan tersebut. Malam itu juga Awang Gading menghadap tetua kampungnya untuk memperlihatkan bayi yang ditemukannya.

“Berbahagialah Awang, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah dia dengan baik,” pesan Tetua Kampung.

Keesokan harinya, Awang Gading meng­adakan tasyakuran atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Awang me­ngun­dang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi tersebut Da­yang Kumunah.

“Dayang sayang, anakku seorang .... Cepatlah besar menjadi gadis dambaan,” dendang Awang Gading saat menimang-nimang Dayang Kumunah.

Sejak kehadiran Dayang, Awang ber­tam­bah rajin bekerja. Awang memberi­kan kasih sayang dan perhatian yang melimpah untuk Dayang. Berbagai penge­tahuan yang dimiliki ditularkannya kepada Dayang. Tak lupa pelajaran budi pekerti juga dibe­rikannya. Kadang diajaknya Dayang men­­cari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara lebih dekat.

Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.

Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di ru­mah Awang Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat.

“Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi seorang istri yang baik, tetapi jangan minta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah.

Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.

Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah. Semua tetangga dan kerabat kedua mempelai diundang. Aneka hidangan ter­sedia dengan melim­pah. Seluruh undangan gembira menyak­sikan pasangan pengantin itu. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Sungguh pasangan yang serasi.

Awangku Usop dan Dayang Ku­mu­­nah hidup berbahagia. Namun, kebaha­giaan mereka tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikah­an, Awang Gading meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah ber­sedih meskipun Awang Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah, kesedihan Dayang Kumunah segera terobati dengan ke­lahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop merasa kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.

Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Ku­mu­nah. Awangku Usop meminta Da­yang Kumunah untuk tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun tertawa. Saat tertawa itu, tampaklah insang ikan di mulut Dayang Kumunah yang menandakan ia keturunan ikan. Setelah itu, Dayang segera berlari ke sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Da­yang berubah menjadi ikan. Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awangku Usop telah mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.

Awangku Usop segera menyadari ke­khilafannya dan meminta maaf. Dia meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah terlambat. Dayang telah terjun ke sungai. Dia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.

Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tidak akan makan ikan patin karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya ada sebagian orang Melayu yang tidak makan ikan patin.

Penulis: Daryatun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar